Senin, 25 Februari 2013

Menelisik Sejarah Kota Sana'a Yaman

Menelusuri kota Sana’a dengan berjalan kaki, saya bisa merasakan betul denyut nadi aktivitas kota seluas 527 km persegi tersebut. Kota Metropolitan ini memang sedang mewujudkan pemerataan pembangunan di segala bidang. Beberapa proyek perusahaan dan pendidikan yang masih dalam proses penyelesaian terlihat semangat di sana-sini. Memang, tak banyak gedung pencakar langit yang eksotis. Namun, hampir tak terlihat kawasan kumuh seperti di jembatan sungai Jakarta. Kota Sana’a memang bukan kota yang sangat bersih, tetapi juga tidak terasa kumal.

Sebelum menjelma sebagai kota metropolis seperti sekarang ini, Sana’a telah melewati babakan sejarah yang cukup panjang. Dinasti Turki Ottoman sempat menguasai Sana’a pada tahun 1872 M dan menempatkan gubernurnya di sana. Namun karena Perang Dunia Pertama dan perlawanan gigih dari kerajaan Yahya –dipimpin oleh Imam Yahya– akhirnya Turki Ottoman meninggalkan Yaman Utara tahun 1919 M. Sejak itu, Kerajaan Yahya terus menguasai Sana’a hingga terjadi revolusi tahun 1962. Revolusi yang dikenal dengan ”Revolusi September 1962” itu berhasil menumbangkan sistem imâmah dan mengubah bentuk negara menjadi Republik Arab Yaman (Utara) dengan Sana’a sebagai ibu kotanya.

Di saat yang hampir bersamaan, Yaman Selatan yang berpusat di Aden berhasil melepaskan dirinya dari cengkeraman penjajah Inggris. Adalah Qathân al-Sya’bi, presiden pertama Yaman Selatan dengan bantuan Negara Blok Timur yang berhasil mengusir Inggris pada 27 November 1967. Dan Pada 1970, Salem Rubayyi Ali, presiden kedua setelah Qathân, mendeklarasikan Republik Demokrasi Rakyat Yaman (Selatan) dengan Aden sebagai ibu kotanya.

Republik Yaman secara resmi berdiri tanggal 22 Mei 1990 setelah Republik Arab Yaman (Utara) dan Republik Demokrasi Rakyat Yaman (Selatan) menandatangani perjanjian persatuan (unifikasi) negara, setelah 300 tahun berpisah. Kesepakatan tersebut ditandatangani Salem al-Baedh (Yaman Selatan) dan Kol. Ali Abdullah Shaleh (Yaman Utara). Kedua pihak juga bersepakat menjadikan Sana’a sebagai pusat pemerintahan hingga saat ini.

Kami memutuskan untuk mengunjungi Kota Sana’a Kuno (Old Sana’a). Dalam bahasa Arab disebut Sana’a al-Qadîmah. Saya penasaran, karena menurut catatan sejarah, di sini terdapat puing–puing kekuasaan Abrahah: raja sombong yang ingin mengganti Kakbah di Mekkah dengan ”Kakbah” buatannya. Di sinilah pusat kekuasaan pasukan gajah yang kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Fîl: 1-5).

Sampai di pelataran Sana’a Kuno tersebut, kami dibuat terpana. Betapa tidak, sederet tembok besar berbentuk benteng yang tinggi kokoh berdiri. Di tengah–tengah bangunan itu terdapat sebuah pintu besar. Itulah Babul Yaman: gerbang Kota Sana’a di zaman dahulu. Bangunan yang megah itu sudah tak utuh lagi. Tetapi pilar-pilarnya yang kokoh masih berdiri tegak menyangga bangunannya. Uniknya, kesemuanya terbuat dari tanah liat.

Babul Yaman kini telah bermetamorfosis menjadi pusat pariwisata yang mengasyikkan. Bagi yang suka shopping, maka wajib mengunjungi kota kuno ini. Inilah pusat cindera mata sekaligus deretan cafe yang selalu dikunjungi turis mancanegara. Ibarat di Bali, inilah kawasan Kuta. Atau di Yogyakarta, dialah Malioboronya. Belum sah ke Yaman kalau belum mengunjunginya.

Demikian populernya Babul Yaman, sehingga tercantum dalam brosur tur, peta, dan berbagai petunjuk turis yang dijadikan pegangan para pelancong. Termasuk buku ”Yaman Selayang Pandang” yang diterbitkan KBRI Sana’a pada bulan Agustus lalu. Buku saku itulah yang selalu saya bawa kemana-mana selama di Sana’a. Setiap hari tempat ini tak pernah sepi dari pengunjung. Letaknya yang berada di kawasan lama Kota Sana’a, menjadikan nuansanya sangat klasik dan semerbak aroma sejarah.

Jika memasuki gerbang Babul Yaman, kita akan mendapati sebuah kawasan pasar tradisional yang digelar di hamparan bangunan apartemen kuno. Bagian atasnya digunakan sebagai tempat tinggal dan penginapan. Sedangkan di bawahnya, yang juga meluber ke jalan, menjadi pasar tradisonal. Ada yang menggelar dagangan dalam kios dan toko, namun tak sedikit yang menjajakkan dagangan hingga ke jalan-jalan. Souvenir yang diperdagangkan adalah khas Yaman, seperti miniatur bangunan-bangunan Yaman, hiasan perak dan perunggu, permata akik Yaman, jambia –semacam keris yang menjadi pusaka tradisional warga Yaman; biasanya dipasang di bagian depan sarung sehingga tampak sangar–, serta berbagai macam handicraft lainnya.

Jika tidak pandai menawar, barang-barang tersebut akan didapatkan dengan harga relatif mahal. Tapi sebaliknya, jika cerdik menawar, maka barang berkualitas tinggi bisa kita dapat dengan harga sangat miring. Caranya, kata kawan saya, jangan segan-segan menawar hingga 90 persen dari harga yang ditawarkan. Jika tidak disetujui, terus naikkan hingga separuh harga. Jika masih tidak disetujui, maka gunakan jurus ampuh ini: pura-pura berpaling dan pergi meninggalkan tempat.

”Jika sudah demikian, biasanya para pedagang akan luluh”, kata seorang mahasiswa Indonesia yang juga berkunjung ke sana.

Tak begitu jauh dari Babul Yaman, ada tempat bersejarah yang tak bisa diabaikan begitu saja. Nilai sejarahnya tinggi. Sampai-sampai Al-Qur’an pun mengabadikan kisahnya. Tempat itu adalah Gharqat al-Qulays: ”Kakbah” buatan Raja Abrahah yang dulu diproyeksikan untuk menggantikan Kakbah di Mekkah. Kini, Kakbah duplikat itu menjadi puing sejarah yang kondisinya sangat mengenaskan.
Sumber : http://www.facebook.com/permalink.php?id=148449595261357&story_fbid=283714528401529

0 komentar:

Posting Komentar

Para Pengunjung TBM Maktabah Jawilan Yang Terhormat Silahkan Tinggalkan Komentar Disini !

Bagi Yang Menggunakan Profile "Anonymous" Mohon Tuliskan Nama dan Email Sobat !!!!

Thx AA H. Rony

CARI TULISAN DISINI
PILIH BAHASA