Menelusuri
kota Sana’a dengan berjalan kaki, saya bisa merasakan betul denyut nadi
aktivitas kota seluas 527 km persegi tersebut. Kota Metropolitan ini
memang sedang mewujudkan pemerataan pembangunan di segala bidang.
Beberapa proyek perusahaan dan pendidikan yang masih dalam proses
penyelesaian terlihat semangat di sana-sini. Memang, tak banyak gedung
pencakar langit yang eksotis. Namun, hampir tak terlihat kawasan kumuh
seperti di jembatan sungai Jakarta. Kota Sana’a memang bukan kota yang
sangat bersih, tetapi juga tidak terasa kumal.
Sebelum
menjelma sebagai kota metropolis seperti sekarang ini, Sana’a telah
melewati babakan sejarah yang cukup panjang. Dinasti Turki Ottoman
sempat menguasai Sana’a pada tahun 1872 M dan menempatkan gubernurnya di
sana. Namun karena Perang Dunia Pertama dan perlawanan gigih dari
kerajaan Yahya –dipimpin oleh Imam Yahya– akhirnya Turki Ottoman
meninggalkan Yaman Utara tahun 1919 M. Sejak itu, Kerajaan Yahya terus
menguasai Sana’a hingga terjadi revolusi tahun 1962. Revolusi yang
dikenal dengan ”Revolusi September 1962” itu berhasil menumbangkan
sistem imâmah dan mengubah bentuk negara menjadi Republik Arab Yaman
(Utara) dengan Sana’a sebagai ibu kotanya.
Di saat yang hampir
bersamaan, Yaman Selatan yang berpusat di Aden berhasil melepaskan
dirinya dari cengkeraman penjajah Inggris. Adalah Qathân al-Sya’bi,
presiden pertama Yaman Selatan dengan bantuan Negara Blok Timur yang
berhasil mengusir Inggris pada 27 November 1967. Dan Pada 1970, Salem
Rubayyi Ali, presiden kedua setelah Qathân, mendeklarasikan Republik
Demokrasi Rakyat Yaman (Selatan) dengan Aden sebagai ibu kotanya.
Republik Yaman secara resmi berdiri tanggal 22 Mei 1990 setelah
Republik Arab Yaman (Utara) dan Republik Demokrasi Rakyat Yaman
(Selatan) menandatangani perjanjian persatuan (unifikasi) negara,
setelah 300 tahun berpisah. Kesepakatan tersebut ditandatangani Salem
al-Baedh (Yaman Selatan) dan Kol. Ali Abdullah Shaleh (Yaman Utara).
Kedua pihak juga bersepakat menjadikan Sana’a sebagai pusat pemerintahan
hingga saat ini.
Kami memutuskan untuk mengunjungi Kota
Sana’a Kuno (Old Sana’a). Dalam bahasa Arab disebut Sana’a al-Qadîmah.
Saya penasaran, karena menurut catatan sejarah, di sini terdapat
puing–puing kekuasaan Abrahah: raja sombong yang ingin mengganti Kakbah
di Mekkah dengan ”Kakbah” buatannya. Di sinilah pusat kekuasaan pasukan
gajah yang kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Fîl: 1-5).
Sampai di pelataran Sana’a Kuno tersebut, kami dibuat terpana. Betapa
tidak, sederet tembok besar berbentuk benteng yang tinggi kokoh berdiri.
Di tengah–tengah bangunan itu terdapat sebuah pintu besar. Itulah Babul
Yaman: gerbang Kota Sana’a di zaman dahulu. Bangunan yang megah itu
sudah tak utuh lagi. Tetapi pilar-pilarnya yang kokoh masih berdiri
tegak menyangga bangunannya. Uniknya, kesemuanya terbuat dari tanah
liat.
Babul Yaman kini telah bermetamorfosis menjadi pusat
pariwisata yang mengasyikkan. Bagi yang suka shopping, maka wajib
mengunjungi kota kuno ini. Inilah pusat cindera mata sekaligus deretan
cafe yang selalu dikunjungi turis mancanegara. Ibarat di Bali, inilah
kawasan Kuta. Atau di Yogyakarta, dialah Malioboronya. Belum sah ke
Yaman kalau belum mengunjunginya.
Demikian populernya Babul
Yaman, sehingga tercantum dalam brosur tur, peta, dan berbagai petunjuk
turis yang dijadikan pegangan para pelancong. Termasuk buku ”Yaman
Selayang Pandang” yang diterbitkan KBRI Sana’a pada bulan Agustus lalu.
Buku saku itulah yang selalu saya bawa kemana-mana selama di Sana’a.
Setiap hari tempat ini tak pernah sepi dari pengunjung. Letaknya yang
berada di kawasan lama Kota Sana’a, menjadikan nuansanya sangat klasik
dan semerbak aroma sejarah.
Jika memasuki gerbang Babul Yaman,
kita akan mendapati sebuah kawasan pasar tradisional yang digelar di
hamparan bangunan apartemen kuno. Bagian atasnya digunakan sebagai
tempat tinggal dan penginapan. Sedangkan di bawahnya, yang juga meluber
ke jalan, menjadi pasar tradisonal. Ada yang menggelar dagangan dalam
kios dan toko, namun tak sedikit yang menjajakkan dagangan hingga ke
jalan-jalan. Souvenir yang diperdagangkan adalah khas Yaman, seperti
miniatur bangunan-bangunan Yaman, hiasan perak dan perunggu, permata
akik Yaman, jambia –semacam keris yang menjadi pusaka tradisional warga
Yaman; biasanya dipasang di bagian depan sarung sehingga tampak sangar–,
serta berbagai macam handicraft lainnya.
Jika tidak pandai
menawar, barang-barang tersebut akan didapatkan dengan harga relatif
mahal. Tapi sebaliknya, jika cerdik menawar, maka barang berkualitas
tinggi bisa kita dapat dengan harga sangat miring. Caranya, kata kawan
saya, jangan segan-segan menawar hingga 90 persen dari harga yang
ditawarkan. Jika tidak disetujui, terus naikkan hingga separuh harga.
Jika masih tidak disetujui, maka gunakan jurus ampuh ini: pura-pura
berpaling dan pergi meninggalkan tempat.
”Jika sudah demikian, biasanya para pedagang akan luluh”, kata seorang mahasiswa Indonesia yang juga berkunjung ke sana.
Tak begitu jauh dari Babul Yaman, ada tempat bersejarah yang tak bisa
diabaikan begitu saja. Nilai sejarahnya tinggi. Sampai-sampai Al-Qur’an
pun mengabadikan kisahnya. Tempat itu adalah Gharqat al-Qulays: ”Kakbah”
buatan Raja Abrahah yang dulu diproyeksikan untuk menggantikan Kakbah
di Mekkah. Kini, Kakbah duplikat itu menjadi puing sejarah yang
kondisinya sangat mengenaskan.
Sumber : http://www.facebook.com/permalink.php?id=148449595261357&story_fbid=283714528401529
0 komentar:
Posting Komentar
Para Pengunjung TBM Maktabah Jawilan Yang Terhormat Silahkan Tinggalkan Komentar Disini !
Bagi Yang Menggunakan Profile "Anonymous" Mohon Tuliskan Nama dan Email Sobat !!!!
Thx AA H. Rony